Business Process Re-engineering ( BPR ) merupakan suatu proses perubahan secara menyeluruh, mulai struktur dari organisasi, sistem manajemen, pengukuran performance, sistem insentif, hingga penggunaan teknologi informasi. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari pelaksanaan BPR, yaitu sukses yang luar biasa atau kegagalan yang hebat. Upaya merekayasa bisnis ini biasanya dipacu keadaan lingkungan sekitar. Tidak hanya produknya yang diubah, namun juga kebudayaan dalam UKM dan sistem pemerintahan yang diubah lebih baik.
Ada 4 unsur yang harus dilakukan perusahaan dalam BPR. Yaitu Konseptual, Radikal, Kontinyu, dan Dramatis. Konseptual. maksudnya bahwa perubahan tersebut harus direncanakan secara matang agar tidak memberi dampak negatif. Diupayakan pula agar perubahan tersebut membawa hal yang baru baru bagi perusahaan. Sehingga, bentuk dan sistem organisasi yang lama tidak tampak lagi. Upaya inilah yang dikenal sebagai Radikal. Agar perubahan tersebut membuahkan hasil yang maksimal, proses pembenahan dapat dilakukan secara terus menerus dan Kontinyu. Sedangkan Dramatis, maksudnya agar perubahan tersebut mampu memberi peningkatan hasil yang spektakuler, minimal meningkat hingga 100 persen, kalau hasil yang diperoleh sekarang masih sama dengan tahun lalu, artinya perubahan tersebut gagal. Sebab biaya produksi saat ini jauh lebih besar.
Berbeda halnya dengan di Indonesia. Pada umumnya, pelaku Usaha Kecil Menengah ( UKM ) di Indonesia justru melakukan perubahan saat kondisi perusahaannya sedang guncang. Padahal tanpa disadari, perubahan yang dilakukan ini akan menyerap sumber daya dan biaya yang cukup besar. Jika BPR dilakukan saat perusahaan dalam kondisi keuangan yang memprihatinkan, bisa jadi perubahan ini justru akan akan membuat perusahaan semakin terpuruk dan mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, BPR memang dilakukan saat perusahaan memiliki daya untuk memecahkan masalah bisnis.
Pada intinya, tujuan dari BPR adalah untuk mendapatkan keuntungan, keuntungan inilh yang nantinya digunakan untuk kelangsungan UKM, baik kesejahteraan karyawan, masyarakat sekitar dan kemajuan UKM itu sendiri. Tanpa adanya perubahan, sudah pasti UKM tidak akan berjalan dengan baik.
Pada suatu kasus pernah ditemukan sebuah UKM yang melakukan BPR saat kondisi perusahaannya sedang memuncak. Dua tahun sebelum melakukan BPR, perusahaan itu memecah karyawannya menjadi dua golongan, yaitu bapak angkat dan anak angkat. Bagi mereka yang dianggap mampu menguasai teknologi baru digabungkan menjadi satu dan dilatih untuk mengoperasikan mesin yang tangguh. Sedang bagi mereka yang dianggap kurang mampu menguasai teknologibaru digabungkn dan dibuatkan wadah baru yang hasilnya dapat berguna bagi perusahaan. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi seandainya kelak perusahaan melaju dengan teknologi yang canggih, maka tidak akan ada ketertinggalan dan setiap karyawannya dapat berjalan secara beriringan, disamping itu pula bahwa perubahan tidak dapat dipaksakan. Perubahan terjadi dengan sendirinya dan merupakan tuntutan bagi perusahaan agar dapat eksis dalam persaingan dunia usaha.
Meski demikian, perubahan ini sangat sulit dilakukan oleh UKM keluarga. Sebab, setiap keputusan yang diambil biasanya melibatkan banyak pihak, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih lama.setiap keputusan yang berlandaskan pada kekeluargaan biasanya diambil dengan mengutamakan perusahaan, sehingga tidak ada anggota keluarga yang berkorban dan dikorbankan. Mereka mendapatkan kedudukan yang sama. Hal ini dapat terlihat dari persaingan bisnis fried chicken. Bisnis yang dikelola keluarga terlihat kurang mampu bersaing dengan bisnis fried chicken berupa franchise. Selain tidak mampu bersaing dalam bidang pemasaran, juga terlihat kurang berdaya dalam mengeluarkan inovasi. Misalnya, dengan aneka pilihan rasa ayam, atau produk pendukung lainnya. Hal ini, tentu berkaitan dengan tingkat isiplin karyawannya.
Yang menjadi tolak ukur keberhasilan BPR yaitu kompetitor. Jika UKM ingin unggul dalam persaingan, mereka harus memiliki keunggulan dalam bersaing. Namun jika perusahaan tersebut tidak memiliki keunggulan, minimal mereka dapat bertahan di satu tempat. Dimana “rumus dalam bekerja itu mampu dikalikan dengan mau”. Maksudnya, jika perusahaan memiliki kemampuan dalam bersaing, namun tidak diimbangi dengan keinginan dan semangat dari karyawan, maka tidak akan membuahkan hasil. Demikian sebaliknya, jika karyawan memiliki motivasi dan keinginan untuk menghadapi persaingan, namun jika tidak diimbangi dengan kemampuan pihak manajemen dalam mengelola sumber daya yang dimiliki, maka tidak akan berhasil. Itu sebabnya, kerjasama dalam kelompok kerja sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan.